Rumah // a short story.
( A/N; This is a short story that I wrote for submission to a writing contest that was held by APU Indonesian Community's Magazine, Warna, this month. I honestly did not expect anything at all when I submitted this ---- and boy, the result got me off - guard. I am really grateful for the appreciation and love for this story, and I am still trying to wrap my head around the fact that I got to win first prize in the competition. This story will be included in the latest edition of Warna, so I hope you do not miss it! Once again, big thanks and shout out to Warna for being so generous, and you guys for being awesome :) )
Rumah
Kata orang, untuk merasakan yang namanya kebahagiaan, kita
butuh sosok yang tepat untuk datang dan melengkapi diri kita. Mungkin itu berlaku bagi orang lain,
pikirku, tapi itu tidak akan berlaku
untukku. Bagaimana tidak, aku yang harus menghabiskan seperempat hidupku
sendirian sudah terbiasa hidup tanpa campur tangan orang lain. Aku percaya,
bahwa semua orang harus mampu melengkapi dirinya sendiri, dan tidak seharusnya
seseorang menggantungkan kebahagiannya pada seseorang yang mungkin tidak akan
pernah datang. Sebagai penjunjung utama prinsip hidup sendiri, aku tak pernah
menyangka bagaimana prinsip yang kupegang selama bertahun – tahun lamanya ini
dapat runtuh seketika saat aku bertemu dengan sosok yang tak kusangka akan
hadir --- dia.
Ia datang di hari Senin sore, tepat saat matahari beranjak
pulang. Aku masih ingat bagaimana ia masuk ke lobi apartemen dengan tergopoh –
gopoh --- Tas ranselnya yang berisi buku – buku tebal ia panggul dengan susah
payah, rambutnya dikuncir ekor kuda dengan peluh membasahi dahinya. Ia
melangkah cepat menuju depan elevator, tidak sadar bahwa daritadi ada sosok
yang memperhatikannya. Berdasarkan pengamatanku, ia tidak seperti wanita
lainnya yang sering kutemui --- ia tidak memperhatikan penampilannya, dan hanya
berfokus pada satu tujuan, yang waktu itu adalah kembali ke kamarnya secepat
mungkin. Aku tidak tahu apa yang
merasukiku, tapi aku menemukan diriku berjalan pelan ke arahnya, membuatnya terkesiap
kaget. Untung kekagetan itu tidak bertahan lama, karena seketika
seulas senyum lembut sudah terulas di bibirnya. Lucu bagaimana senyum orang
yang bahkan belum kukenal ini bisa membuatku seketika merasa nyaman berada di
dekatnya, begitu nyamannya sampai – sampai aku menemukan diriku berdiri
mematung memandangi sosoknya hingga pintu elevator kembali menutup.
Sejak pertemuan itu, aku bisa
menemukan diriku menunggu kesempatan lain untuk bertemu dengannya lagi.
Aku bahkan rela menunggunya tiap sore di depan lobi apartemennya, meskipun aku
sadar ia bisa – bisa mengusirku kalau tahu aku melakukan ini. Aku sendiri saja
mulai takut dengan kebiasaan baruku ini, apalagi dia? Tapi aku rela melakukan apapun
untuk bertemu dengannya sekali lagi, termasuk melakukan hal seekstrim ini. Mungkin saja,
Tuhan benar - benar mendengar permintaanku, karena hari ini aku melihatnya melangkah masuk ke
dalam lobi. Kelihatannya ia baru pulang berbelanja di supermarket, menilai dari
banyaknya kantong plastik yang ia jinjing kali ini. Begitu ia melihatku, ia langsung
menyapa dan berjalan ke arahku -- semoga
ia tidak tahu bahwa aku disini karena aku sengaja menunggunya. Tuhan
rasanya bukan saja ingin mengabulkan doaku hari ini, namun Ia juga ingin
mengejutkanku, karena kali ini aku tak hanya disapa olehnya -- aku juga
mendapat ajakan masuk ke apartemennya. Dengan cepat aku mengangguk dan berjalan
mengikutinya, tidak menyia – nyiakan kesempatan untuk menghabiskan waktu
dengan sosok yang berhasil menarik perhatianku ini.
Aku berani bersumpah, sore yang kuhabiskan bersamanya
berhasil masuk ke dalam jajaran sore terbaik dalam hidupku. Aku masih tidak
bisa memahami bagaimana aku bisa menemukan seseorang yang bisa membuatku merasa
sebahagia ini, yang membuatku merasa seakan aku telah menemukan rumah. Sejak sore itu, aku jadi semakin sering
menghabiskan waktuku dengannya, rutinitas baru yang menjadi motivasiku
menjalani hari sekarang. Saking seringnya aku menghabiskan waktu bersamanya,
aku jadi hafal kebiasaan – kebiasaan kecilnya, apa hal yang ia sukai dan yang
tidak ia sukai. Misalnya, aku sadar bagaimana ia suka menghabiskan sorenya
dengan membaca koran dan minum teh di balkon apartemennya, maka akupun diam –
diam mengambilkan korannya yang tergeletak di depan pintu apartemennya setiap
sore dan siap menunggunya di balkon untuk menemaninya membaca. Tindakan –
tindakan kecil yang kulakukan ini secara tidak langsung berhasil membuatnya
lebih sering tersenyum ----- senyum yang
meyakinkanku bahwa ialah orang yang bisa membawa kebahagiaan untukku.
Entah
kenapa, perkataan yang sama seakan berputar lagi di otakku sekarang. Untuk merasakan yang namanya kebahagiaan,
kita butuh sosok yang tepat untuk datang dan melengkapi diri kita. Kali ini
aku tidak akan lagi menyangkal perkataan tersebut, karena pada akhirnya akupun
berhasil membuktikan kebenarannya. Seperti sore ini, saat aku melihat senyumnya
lagi, aku yakin bahwa aku bahagia -- bahwa kali ini aku telah menemukan rumah
dalam dirinya. Maka sembari menggoyangkan ekorku, aku berjanji akan ikut
kemanapun ia pergi, karena pergi kemanapun bersamanya terasa sama nikmatnya
dengan pulang ke rumah.
0 komentar