Rumah // a short story.

By 05.19

(  A/N;  This is a short story that I wrote for submission to a writing contest that was held by APU Indonesian Community's Magazine, Warna, this month.  I honestly did not expect anything at all when I submitted this ---- and boy, the result got me off - guard. I am really grateful for the appreciation and love for this story, and I am still trying to wrap my head around the fact that I got to win first prize in the competition.  This story will be included in the latest edition of Warna, so I hope you do not miss it! Once again, big thanks and shout out to Warna for being so generous, and you guys for being awesome :)  )

Rumah

Kata orang, untuk merasakan yang namanya kebahagiaan, kita butuh sosok yang tepat untuk datang dan melengkapi diri kita. Mungkin itu berlaku bagi orang lain, pikirku, tapi itu tidak akan berlaku untukku. Bagaimana tidak, aku yang harus menghabiskan seperempat hidupku sendirian sudah terbiasa hidup tanpa campur tangan orang lain. Aku percaya, bahwa semua orang harus mampu melengkapi dirinya sendiri, dan tidak seharusnya seseorang menggantungkan kebahagiannya pada seseorang yang mungkin tidak akan pernah datang. Sebagai penjunjung utama prinsip hidup sendiri, aku tak pernah menyangka bagaimana prinsip yang kupegang selama bertahun – tahun lamanya ini dapat runtuh seketika saat aku bertemu dengan sosok yang tak kusangka akan hadir  --- dia.

Ia datang di hari Senin sore, tepat saat matahari beranjak pulang. Aku masih ingat bagaimana ia masuk ke lobi apartemen dengan tergopoh – gopoh --- Tas ranselnya yang berisi buku – buku tebal ia panggul dengan susah payah, rambutnya dikuncir ekor kuda dengan peluh membasahi dahinya. Ia melangkah cepat menuju depan elevator, tidak sadar bahwa daritadi ada sosok yang memperhatikannya. Berdasarkan pengamatanku, ia tidak seperti wanita lainnya yang sering kutemui --- ia tidak memperhatikan penampilannya, dan hanya berfokus pada satu tujuan, yang waktu itu adalah kembali ke kamarnya secepat mungkin.  Aku tidak tahu apa yang merasukiku, tapi aku menemukan diriku berjalan pelan ke arahnya, membuatnya terkesiap kaget. Untung kekagetan itu tidak bertahan lama, karena seketika seulas senyum lembut sudah terulas di bibirnya. Lucu bagaimana senyum orang yang bahkan belum kukenal ini bisa membuatku seketika merasa nyaman berada di dekatnya, begitu nyamannya sampai – sampai aku menemukan diriku berdiri mematung memandangi sosoknya  hingga pintu elevator kembali menutup.

      Sejak pertemuan itu, aku bisa menemukan diriku menunggu kesempatan lain untuk bertemu dengannya lagi. Aku bahkan rela menunggunya tiap sore di depan lobi apartemennya, meskipun aku sadar ia bisa – bisa mengusirku kalau tahu aku melakukan ini. Aku sendiri saja mulai takut dengan kebiasaan baruku ini, apalagi dia? Tapi aku rela melakukan apapun untuk bertemu dengannya sekali lagi, termasuk melakukan hal seekstrim ini. Mungkin saja, Tuhan benar - benar mendengar permintaanku, karena hari ini aku melihatnya melangkah masuk ke dalam lobi. Kelihatannya ia baru pulang berbelanja di supermarket, menilai dari banyaknya kantong plastik yang ia jinjing kali ini. Begitu ia melihatku, ia langsung menyapa dan berjalan ke arahku -- semoga ia tidak tahu bahwa aku disini karena aku sengaja menunggunya. Tuhan rasanya bukan saja ingin mengabulkan doaku hari ini, namun Ia juga ingin mengejutkanku, karena kali ini aku tak hanya disapa olehnya -- aku juga mendapat ajakan masuk ke apartemennya. Dengan cepat aku mengangguk dan berjalan mengikutinya, tidak menyia – nyiakan kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan sosok yang berhasil menarik perhatianku ini.

Aku berani bersumpah, sore yang kuhabiskan bersamanya berhasil masuk ke dalam jajaran sore terbaik dalam hidupku. Aku masih tidak bisa memahami bagaimana aku bisa menemukan seseorang yang bisa membuatku merasa sebahagia ini, yang membuatku merasa seakan aku telah menemukan rumah.  Sejak sore itu, aku jadi semakin sering menghabiskan waktuku dengannya, rutinitas baru yang menjadi motivasiku menjalani hari sekarang. Saking seringnya aku menghabiskan waktu bersamanya, aku jadi hafal kebiasaan – kebiasaan kecilnya, apa hal yang ia sukai dan yang tidak ia sukai. Misalnya, aku sadar bagaimana ia suka menghabiskan sorenya dengan membaca koran dan minum teh di balkon apartemennya, maka akupun diam – diam mengambilkan korannya yang tergeletak di depan pintu apartemennya setiap sore dan siap menunggunya di balkon untuk menemaninya membaca. Tindakan – tindakan kecil yang kulakukan ini secara tidak langsung berhasil membuatnya lebih sering tersenyum  ----- senyum yang meyakinkanku bahwa ialah orang yang bisa membawa kebahagiaan untukku.

            Entah kenapa, perkataan yang sama seakan berputar lagi di otakku sekarang. Untuk merasakan yang namanya kebahagiaan, kita butuh sosok yang tepat untuk datang dan melengkapi diri kita. Kali ini aku tidak akan lagi menyangkal perkataan tersebut, karena pada akhirnya akupun berhasil membuktikan kebenarannya. Seperti sore ini, saat aku melihat senyumnya lagi, aku yakin bahwa aku bahagia -- bahwa kali ini aku telah menemukan rumah dalam dirinya. Maka sembari menggoyangkan ekorku, aku berjanji akan ikut kemanapun ia pergi, karena pergi kemanapun bersamanya terasa sama nikmatnya dengan pulang ke rumah. 





You Might Also Like

0 komentar